1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Bagaimana kondisi masyarakat Indonesia saat ini? Marilah kita tengok dunia remaja, anak-anak kita, harapan generasi bangsa yang akan datang. Apa yang mereka alami? Apa yang mereka lakukan? Beberapa berita yang membanggakan sering kita dengar, misalnya berbagai prestasi siswa kita dalam olimpiade sains tingkat dunia, kreativitas pentas seni, prestasi dalam bidang olahraga, pembuatan laptop, pembuatan kendaraan khususnya para siswa SMK, dan kreativitas positif lainnya.
Disamping berita-berita positif, kita juga harus jeli dalam menyikapi dan mengantisipasi berita-berita tentang perilaku negatif remaja. Menurut data Badan Narkotika Nasional, (BNN, 2004), lebih dari 2 juta remaja Indonesia ketagihan narkoba. Menurut komisi perlindungan anak, (TVOne, 20 Maret 2020), anak-anak usia 5 tahun sudah mulai merokok, dengan peningkatan drastis, 400%. Data dari Depkes (2008), mengatakan bahwa lebih 8000 remaja terdiagnosis pengidap AIDS. Kita juga melihat pergaulan bebas yang dilakukan remaja kita para siswa SMP, SMA, sehingga beberapa video adegan porno yang tertangkap polisi yang sempat disiarkan TV membuat kita para orangtua meriding.
Dat a lainnya, berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa :
- sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks;
- sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks;
- sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan;
- sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi;
- dari 2 juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja perempuan; dan
- sebanyak 97% pelajar SMP dan SMA mengaku suka menonton film porno.
Disamping dunia nyata remaja, kita juga disuguhi tontonan TV setiap hari; TV merupakan salahsatu cermin budaya bangsa saat ini. Umumnya budaya yang ditampilkan terbatas pada seni suara dan seni akting, yang memang disukai pemirsa, tua muda. Acara TV umumnya mengikuti selera, bukan visi-misi yang sesuai dengan visi-misi masa depan bangsa. Kemanakah budaya-budaya asli Indonesia yang dulu sering ditampilkan di TV? Kemanakah acara wayang? Kesenian daerah? Kerajinan khas daerah? Bagaimana pula dengan budaya khas gotong royong Indonesia? Masih kenalkah anak muda terhadap budaya dan karakter bangsanya sendiri? Kelihatannya mereka sudah mulai asing dengan budaya khas Indonesia, apalagi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Jika kita lihat TV di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai “puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia”. Kebudayaan yang disuguhkan penuh dengan nilai-nilai bangsa yang positif. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki nilai akar (root value) budaya yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kesusilaan seperti tertuang dalam falsafah dan nilai Pancasila. Kondisi yang menimpa generasi muda saat ini, harus dibina dan dididik agar mereka menjadi pemimpin yang memiliki moralitas yang tinggi untuk membangun bangsa dan negaranya; acara TV harus ada batasan, monitoring, dan kendali dari fihak terkait.
Selain TV, juga internet, ponsel, dan media cetak, ikut meracuni remaja kita, misalnya adegan-adegan kekerasan, adegan seksual, mistik, rayuan hedonisme, dan acara lain yang tidak mendidik. Bahkan kita pernah melihat tontonan, bagaimana cara anggota DPR mencari solusi yang tidak baik untuk dicontoh dalam menghadapi suatu masalah. Khusus penggunaan ponsel juga internet telah menurunkan interaksi individu secara langsung. Hal ini akan cenderung membuat pola hidup manusia menjadi indivualistis, kurang peduli lingkungan.
Menurut Thomas Lickona (1992, dalam Muslimin Nasution, 2008), karakter negatif ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
· meningkatnya kekerasan di kalangan remaja;
· ketidakjujuran yang membudaya;
· kurangnya rasa hormat kepada guru, orangtua, dan pemimpin;
· adanya peer group yang berkiprah pada hal-hal negatif;
· rasa curiga dan benci yang meningkat;
· pengguinaan bahasa yang buruk;
· etos kerja melemah;
· tanggung jawab individu dan warga kurang;
· gemar merusak diri.
Sesungguhnya kita harus merasa prihatin atas ketidak berdayaan remaja dalam mengendalikan diri untuk tidak terbawa arus, kebebasan yang kebablasan. Sedangkan keluarga dan sekolah juga tidak berdaya untuk menumbuh kembangkan karakter positif siswa-siswanya, untuk membentengi pengaruh negatif dalam hidupnya. Apa yang dapat kita lakukan?
Semua pihak harus merasa bertanggung jawab atas berbagai kasus remaja di atas. Disamping orang tua yang umumnya pada sibuk bekerja, guru di sekolah, juga jangan diabaikan peran masyarakat dalam menyumbangkan pendidikan karakter positif bagi para remaja. Untuk lebih memfungsikan peran guru dalam pendidikan karakter siswanya, sistem pendidikan kita juga harus diubah. Kenaikan anggaran seharusnya memicu meningkatkan nilai positif dari para siswanya, sehingga mental mereka cukup kuat dalam menyaring budaya luar yang berdampak negatif.
Disamping dunia pendidikan, juga dunia bisnis, para pengusaha, pedagang, dan web internet harus menyadari perannya dalam membentuk generasi muda bangsa Indonesia. Mereka harus menyadari bahwa tujuan berbisnis bukan hanya mencari keuntungan semata, namun ikut membentuk karakter positif konsumennya.
Beberapa waktu lalu, dalam siaran TV, guru besar pendidikan Prof. Arif Rahman merasa gusar dengan dunia pendidikan di Indonesia yang sudah luntur memberikan pendidikan budi pekerti. Tidak heran jika hasil pendidikan yang mengejar nilai menghasilkan generasi yang kurang peka terhadap lingkungan. Akibatnya banyak lembaga pendidikan menghasilkan kekerasan alias premanisme di lingkungan sekolah. Dalam wawancara tersebut, Prof Arif Rahman menganjurkan penggalakan pendidikan moral di setiap sekolah melalui berbagai kegiatan nyata yang lebih bermakna bagi para siswa.
Anjuran tersebut sangat relevan, karena pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, juga mental dan moral bagi individu agar mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah. Sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini, melalui pendidikan manusia tersebut juga menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi negaranya
1.2. Rumusan Masalah.
Dari latar belakang di atas, dapat dilihat berbagai masalah antara lain:
· Pengendalian diri para remaja masih rapuh, sehingga mudah dipengaruhi budaya negatif baik secara langsung maupun melalui berbagai media elektronik maupun media cetak.
· Kerapuhan ini dapat diakibatkan karena ketidak fahaman tentang etika, dan norma serta ajaran agama, atau mereka sudah tahu namun tidak mampu menjalankannya.
· Peran orangtua terutama di perkotaan semakin lemah, hal ini dapat diakibatkan berbagai faktor; misalnya karena keduanya terlalu sibuk bekerja, atau bahkan mereka tidak tahu cara mendidik anak-anaknya, terlalu memanjakannya atau sebaliknya.
· Sistem publikasi media elektronik dan media cetak sudah terlalu vulgar, banyak hal-hal yang tidak pantas ditonton para remaja.
· Sistem pendidikan sekolah belum berhasil membangun karakter positif siswanya.
Dari berbagai masalah di atas, penulis akan memfokuskan pada masalah pendidikan dan pembelajaran di sekolah, sehingga rumusan masalahnya adalah: “bagaimana cara mengintegrasikan pendidikan karakter dalam berbagai kegiatan di sekolah, sehingga output para siswanya memiliki karakter yang sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia?”
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk memberi gambaran kepada para pelaksana pendidikan (pengawas, kepala sekolah, dan guru) di lapangan tentang pesan-pesan moral dan pendidikan karakter budaya bangsa dengan cara mengintegrasikan pendidikan moral tersebut ke dalam berbagai kegiatan pembelajaran di sekolah.
2. KAJIAN LITERATUR
2.1 Kajian Yuridis dan Kebijakan.
Pada pasal 3 UU No.20/2003 disebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab).
Gambaran dari tujuan pendidikan nasional tersebut dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
Dari gambar di atas, ada delapan point yang harus dituju dalam visi-misi pendidikan nasional. Dari delapan point tersebut dapat dielaborasi lagi ke dalam berbagai indikator yang menunjukkan watak atau karakter bangsa. Tujuan pendidikan sebenarnya mengisyaratkan proses dan hasil yang seimbang dan serasi antara pengembangan intelektual dan aspek spiritual (rohani), tanpa memisahkan keduanya secara dikhotomis. Tujuan pendidikan nasional mengusung visi pendidikan nasional yaitu ”Terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas, produktif, dan berakhlak mulia ”.
Namun praktiknya tidak mudah, umumnya aspek spiritual seringkali hanya bertumpu pada peran guru agama dan guru PKn. Hal ini akan memberatkan guru-guru yang bersangkutan, sehingga pengembangan kedua aspek itu tidak berproses secara simultan. Pada dasarnya pengembangan karakter siswa adalah tugas semua guru, mata pelajaran apapun yang dia ajarkan. Jadi semua guru wajib mempelajari bagaimana cara mengembangkan karakter atau watak siswa agar berkembang optimal, sesuai yang dituntut dalam tujuan pendidikan di atas.
Sebagai perbandingan literatur, menurut Mann & John Dewey (filsuf pendidikan) tujuan utama pendidikan adalah penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dengan demikian jelas sudah bahwa sebenarnya arah pendidikan nasional secara umum adalah dalam rangka membangun karakter bangsa Indonesia yang memiliki identitas yang jelas pula yaitu membangun manusia yang agamis, kebangsaan, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan serta memahami dinamika perkembangan lokal, nasional, dan global. Artinya, sebenarnya penyusunan kurikulum seharusnya diarahkan kepada hal-hal tersebut, apapun mata pelajarannya.
Sebagai konsekwensi dari arah kurikulum tersebut, maka persiapan yang disusun guru-guru, termasuk silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) juga harus mengindikasikan pengembangan karakter bangsa Indonesia tersebut, begitu juga implementasinya.Mata pelajaran apapun, harus diarahkan kepada upaya membangun kreativitas dan inovasi, spirit untuk pengembangan dinamika masyarakat dalam pembentukkan watak peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan visi dan misi pendidikan nasional Indonesia.
Dilihat dari sudut kebudayaan, mata pelajaran apapun, harus diarahkan sebagai pengembang karakter bangsa yang berkeadaban yang mengandung nilai-nilai religi, kekeluargaan, gotong royong, kerjasama, kehidupan yang selaras , serasi, dan seimbang. Disamping itu melalui dimensi kebudayaan ini diharapkan mampu melahirkan gagasan-gagasan nilai dan norma yang memunculkan kesadaran masyarakat bagi penciptaan tertib sosial, menggali nilai-nilai budaya yang dapat memperkuat proses integrasi nasional baik secara vertikal maupun horizontal.
Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono, dalam sambutannya sesaat setelah resmi dilantik menjadi Presiden RI ke-7 pada tanggal 20 Oktober 2009, antara lain menyatakan, “Kita harus menjaga jati diri kita, keIndonesiaan kita. Yang membedakan bangsa kita dengan bangsa lain di dunia adalah budaya kita, way of life kita dan keIndonesiaan kita. Ada identitas dan kepribadian yang membuat bangsa Indonesia khas, unggul, dan tidak mudah goyah. Keindonesiaan kita tercermin dalam sikap pluralisme dan kebinekaan, kekeluargaan, kesantunan, toleransi, sikap moderat, keterbukaan, dan rasa kemanusiaan. Hal-hal ini yang harus kita jaga, kita pupuk, kita suburkan di hati sanubari kita dan di hati anak-anak kita. Inilah modal-modal krusial yang paling berharga”.
Sementara dua hari berikutnya, yaitu pada tanggal 22 Oktober 2009, saat timbang terima jabatan, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) periode 2009 – 2014, Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh antara lain mengatakan dalam sambutannya, “… persoalan pendidikan adalah persoalan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, memerlukan partisipasi masyarakat. Pendidikan juga tidak bisa dilepaskan dari karakter dan budaya. Jadikan sekolah sebagai bagian untuk membangun budaya dan karakter bangsa”.
Dari kedua pernyataan pemimpin kita, presiden dan menteri kemendiknas, lebih jelas, bahwa bangsa Indonesia harus punya ciri yang khas, tidak meniru budaya luar; harus unggul dalam berbagai prestasi, dan tidak mudah goyah dalam berperilaku, walau kita tetap terbuka terhadap berbagai informasi dan budaya luar. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa, menunjukkan pluralitas yang harus kita jaga kekayaan dan kesatuannya.
Disamping itu, Kepala Balitbang Depdiknas Mansyur Ramly mengatakan “globalisasi memberikan pengaruh terhadap ketahanan generasi muda di Tanah Air yang dikhawatirkan mulai meninggalkan nilai-nilai budaya lokal”.
Pernyataan ini lebih diperjelas lagi implementasinya oleh Ibu Diah Harianti, Kepala Pusat Kurikulum Balitbang, "Pemerintah tidak akan menambah mata pelajaran tersendiri untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa tetapi cukup dengan memberikan penguatan pada masing-masing mata pelajaran yang selama ini dinilai sudah mulai kendor".
Karakter khas apa saja yang dipesankan oleh para pengambil kebijakan di atas? Beberapa sifat akar budaya bangsa Indonesia yang harus dipertahankan bahkan dikembangkan antara lain kekeluargaan, kesantunan, toleransi, sikap moderat, keterbukaan, dan rasa kemanusiaan yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat. Jika lingkungan sekolah mampu mewujudkan berbagai kegiatan yang menopang pengembangan karakter siswanya, maka harapan presiden dan menteri kemendiknas akan terwujud. Pengaruh lingkungan sekolah dan lingkungan kemendiknas pada umumnya, diharakan dapat mempengaruhi lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal.
Lebih lanjut, menteri kemendiknas mengatakan,” beberapa kebiasaan atau budaya yang perlu ditumbuhkembangkan di antaranya adalah budaya apresiasif konstruktif; artinya, siapa pun yang memberikan kontribusi positif di lingkungannya perlu mendapatkan apresiasi”. “Kebiasaan memberikan apresiasi itu akan mampu membangun lingkungan untuk tumbuh suburnya orang berprestasi. Kalau lingkungannya sendiri tidak mendukung seseorang berprestasi, maka nanti akan terus menerus negatif”. “Budaya berikutnya yang perlu dikembangkan, menurutnya, adalah obyektif komprehensif”.
Mendiknas berpendapat, perlu mentradisikan untuk melihat segala sesuatu secara utuh. Pemberian penghargaan kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah berlakunya nilai-nilai yang buruk.
Kemudian, masih menurut menteri, “budaya yang juga penting dikembangkan adalah rasa penasaran intelektual atau intellectual curiosity serta kesediaan untuk belajar dari orang lain”.
Yahya Muhaimin menyarankan, pendidikan karakter diselenggarakan dalam program sekolah bukan dalam kurikulum. Jadi beliau menyarankan, pendidikan karakter diselenggarakan dalam program rutin sekolah.
Selanjutnya, masih menurut Yahya Muhaimin, “nilai-nilai dasar atau yang merupakan ciri khas karakter bangsa Indonesia yaitu yang bersumber dari nilai-nilai agama maupun nilai-nilai kenegaraan, patriotisme, dan nasionalisme”.”Nilai-nilai dasar tersebut misalnya jujur, dapat dipercaya, amanah, kebersamaan, peduli kepada orang lain, adil, dan demokratis”.
Sejalan dengan tokoh sebelumnya, Frans Magnus Suseno menyarankan,
“karakter yang semestinya dikembangkan adalah keyakinan, kejujuran yang mendasar, kesetiaan terhadap dirinya sendiri dan perasaan spontan bahwa ia mempunyai harga diri, dan bahwa harga diri itu akan turun apabila orang itu menjual diri”. “Ia tahu apa itu tanggung jawab dan bersedia mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia bukan 'orang bendera' yang selalu mengikuti arah angin. Namun ia bisa saja fleksibel, tawar menawar, mau belajar dan berkembang dalam pandangannya”.
Masih menurut Frans, feodalisme para pendidik tidak memungkinkan karakter anak-anak didiknya berkembang semestinya. Menurut dia, jika pendidik membuat anak menjadi 'manutan' dengan nilai-nilai penting, tenggang rasa, dan tidak membantah, maka karakter anak tidak akan berkembang, juga sebaliknya; “Kalau kita mengharapkan karakter, anak itu harus diberi semangat dan didukung agar ia menjadi pemberani, berani mengambil inisiatif, berani mengusulkan alternatif, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia harus diajarkan untuk berpikir sendiri,” katanya.
Jadi cara guru mendidik , mengajar juga sangat mempengaruhi karakter siswanya. Tegasnya, guru harus mampu mengatur siswanya agar perkembangan potensinya tidak terhambat oleh dominasi guru, namun sebaliknya terbantu oleh kreativitas gurunya.
2.2 Kajian Teoritis ( Budaya, Karakter Bangsa dan Cara Integrasinya dalam berbagai kegiatan di sekolah)
Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa dikembangkan di lingkungan sekolah sebagai berikut: (Pusat kurikulum, 2010)
a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani atau afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku (habituasi) peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religious;
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan;
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Budaya adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu merupakan hasil dari interaksi manusia dengan lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau juga kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya dan mendasari cara pandang, berpikir, sikap, dan cara bertindak orang tersebut. (Puskur, 2010)
Menurut Wynne (1991), karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Karakter bangsa dapat terwujud dari karakter masyarakat dan karakter masyarakat terbentuk dari karakter masing-masing anggota masyarakat bangsa tersebut. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat. Karakter anggota masyarakat terbentuk dari lingkungan yang lebih kecil lagi, yaitu keluarga. Jadi peran keluarga sangat penting dan berpengaruh pada pembentukan karakter seseorang dalam menyikapi kehidupan selanjutnya. Pengembangan karakter, atau pembinaan kepribadian pada anggota masyarakat, secara teoretis maupun secara empiris, dilakukan sejak usia dini hingga dewasa.
Program ”pengembangan karakter bangsa” atau ”pembentukan kepribadian bangsa” sebenarnya sudah berlangsung sejak kanak-kanak sampai yang bersangkutan tidak lagi berada pada jenjang dan jalur pendidikan formal dan non-formal. Kita sendiri harus melatih diri dalam mengembangkan karakter positif yang berbasis budaya bangsa. Pembentukan atau pembinaan karakter bangsa seyogyanya terus dipertahankan, sehingga berkesinambungan antar generasi. Budaya dan karakter yang terbentuk pada diri seseorang merupakan hasil dari pendidikan dalam arti luas.
Dari manakah kita menggali, mengembangkan budaya dan karakter bangsa? Budaya dan karakter bangsa Indonesia secara konseptual tercermin dalam rumusan dan kandungan sila-sila Pancasila. Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa Indonesia harus terjaga dalam pendidikan dan pembelajaran apapun mata pelajarannya. Membangun budaya dan karakter secara psikologis tidak cukup dipelajari, namun harus bertumpu pada pembangunan hati, otak dan fisik melalui kebiasaan berfikir dan bertindak. Dengan demikian pendidikan budaya dan karakter bangsa ditekankan pada internalisasi, personalia atau penghayatan, dan pembentukan prilaku peserta didik, melalui berbagai kegiatan di sekolah, sehingga menjadi budaya sekolah.
Budaya sekolah akan membentuk karakter sekolah; dalam dampak luasnya, akan membentuk karakter bangsa. Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan karakter yang diselenggarakan di sekolah, seharusnya mencakup semua ranah, penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya.
Pendidikan juga diharapkan dapat mengembangkan kesadaran nasional serta memformulasikan mindset bangsa. Ki Hadjar Dewantara (dalam Meutia Hatta, tanpa tahun) pernah berkata bahwa ‘untuk mendapatkan sistem pembelajaran yang bermanfaat bagi peri-kehidupan bangsa, haruslah sistem tersebut disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat’. Apakah maksud pernyataan tersebut?
Maksud pernyataan tersebut adalah pembelajaran harus diadaptasikan dengan nilai-nilai budaya yang kita miliki. Nilai budaya dapat kita lihat dari pancasila, tujuan pendidikan nasional, dan nilai-nilai dibalik budaya asli Indonesia. Jika para pengambil kebijakan dan para pelaksana pendidikan berniat mengadakan inovasi pembelajaran, walau sumber inovasi dari berbagai negara, hasil inovasi harus tetap mengakar pada kepribadian dan karakteristik anak didik bangsa kita, sehingga budaya dan karakter siswa kita tidak tercerabut dari akarnya.
Mari kita tengok ke belakang, bagaimana sekolah Taman Siswa berkiprah dalam mendidik siswa siswinya. Sekolah tersebut mengajarkan pencak silat, seni gamelan, seni tari dan berbagai falsafah yang sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia. Bahkan menurut Meutia Hatta, pada saat itu, ada mata pelajaran khusus yang dibuat untuk membangun rasa nasionalisme. Saat ini bahkan cukup banyak nara sumber yang dapat dimanfaatkan untuk melatih berbagai keterampilan budaya-budaya khas daerah. Secara tidak langsung, para siswa juga mempelajari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai budaya akan terkembangkan jika para siswa diberi kesempatan untuk berkreasi, bebas mengemukakan ide, ada ruang kreativitas.
Desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita seperti KH Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, dan Prof. HA Mukti Ali (Meutia Farida Hatta, tanpa tahun). Konsep Ki Hajar Dewantara, mengajar berdasarkan kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan “tuntunan” bukan “tontonan”. Jadi cara mendidik para siswa seharusnya dengan pendekatan “among” yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang.
Prof.Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, yang sejalan dengan makalah ini. Sedangkan metode pembelajaran yang dikembangkan Kiai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik pembelajaran ala Kiai Dahlan, misalnya pada saat menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya berulang kali sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan para santri harus mempraktekannya. Jika sudah dipraktekkan, baru dilanjutkan.
Arus globalisasi hanya bisa diantisipasi dengan lokalisasi. Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Berbagai nilai perlu dikembangkan di sekolah, selain kemampuan kecerdasan, yaitu nilai afektif yang mencakup karakter budaya bangsa, juga nilai dibalik kegiatan-kegiatan yang melatih keterampilan siswa atau keterampilan motorik, psikomotor. Jika nilai-nilai tersebut dikembangkan secara optimal, nilai budaya dan kreativitas akan tumbuh subur di sekolah. Jadi adanya interaksi baik antar siswa sendiri, siswa-guru, siswa-masyarakat sangat diperlukan untuk perkembangan karakter, kreativitas, dan kemandirian siswa.
Karakter apa saja yang perlu dikembangkan untuk mempertahankan ciri khas keIndonesiaan kita? Berbagai literatur mengemukakan karakter positif yang dapat dibangun pada anak didik kita antara lain sebagai berikut. Menurut Building Nation Of Character (2008), karakter abad 21 yang diperlukan adalah
• Creative, mampu menganalisis dan menyelesaikan problem;
• Berminat belajar sepanjang hayat;
• Berfikir kritis;
• Mampu belajar apapun sesuai tuntutan jaman;
• Mampu menjadi komunikator yang efektif;
• Berani mengambil resiko;
• Mampu bekerja keras;
• Integrasi: jujur, disiplin diri, tanggung jawab.
• Penuh perhatian, toleransi, dan fleksibel.
Sedangkan menurut Dorothy Rich (1997)( dalam Building Nation Of Character 2008), terdapat nilai (values), kemampuan (abilities) dan mesin dalam tubuh (inner engines) yang dapat dipelajari oleh anak, yaitu
· percaya diri (confidence);
· motivasi (motivation);
· usaha (effort);
· tanggungjawab (responsibility),
· inisiatif (initiative),
· kemauan kuat (perseverence),
· kasih sayang (caring),
· kerjasama (team work),
· berpikir logis (common sense),
· kemampuan pemecahan masalah (problem solving), serta
· berkonsentrasi pada tujuan (focus).
·
Lain lagi menurut Chicago Tribun, karakter yang perlu dikembangkan dari anak adalah
· percaya diri (confidence),
· kemampuan kontrol diri (self-control),
· kemampuan bekerjasama (cooperation),
· kemudahan bergaul dengan sesamanya (socializaation),
· kemampuan berkonsentrasi (concentration),
· rasa empati (empathy) dan
· kemampuan berkomunikasi (comunication).
Dalam paparan Ratna Megawangi (Seminar Pendidikan Karakter,2008) ada 9 pilar karakter yang perlu dikembangkan dalam diri siswa, yaitu:
· Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty)
· Tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
· Amanah (trustworthiness, reliability, honesty)
· Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience)
· Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
· Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm)
· Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership)
· Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
· Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility,
Lain lagi menurut Character Counts Coalition ( a project of The Joseph Institute of Ethics), ada 6 karakter yang menjadi acuan seperti yang terdapat dalam The Six Pillars of Character, yaitu sebagai berikut:
a. Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi: berintegritas, jujur, dan loyal.
b. Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain.
c. Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.
d. Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain.
e. Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam.
f. Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
Berdasarkan acuan yuridis dan berbagai sumber yang relevan, Pusat Kurikulum telah mengembangkan beberapa butir nilai budaya dan karakter bangsa yang harus dikembangkan di sekolah, antara lain, religius; jujur; tolerans; disiplin; kerja keras; mandiri; demokratis; rasa ingin tahu; semangat kebangsaan; cinta tanah air; menghargai prestasi; bersahabat/komuniktif; cinta damai; gemar membaca; peduli lingkungan; peduli sosial; dan tanggungjawab.
Bagaimana pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tersebut dikembangkan di sekolah? Nilai-nilai tersebut dapat dikembangkan melalui berbagai cara, yaitu sebagai berikut.
Bagan 1. Pengembangan Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
(Sumber: Pusat kurikulum, 2010)
Pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang terintegrasi dengan berbagai mata pelajaran yang telah ditetapkan dalam Standar Isi (SI), digambarkan sebagai berikut:
Bagan 2. Pengembangan Nilai-nilai Budaya dan Karakter Bangsa
melalui Setiap Mata Pelajaran (Sumber: Pusat kurikulum, 2010)
Pendidikan untuk Pengembangan Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (PBKB) dapat dielaborasi lagi melalui:
1. Integrasi Pengetahuan PBKB ke dalam Kurikulum Pendidikan formal/non-formal/informal yang dapat dilakukan melalui 4 cara:
a. Mengintegrasikan materi PBKB kedalam bahan belajar dari mata pelajaran.
b. Membuat kurikulum Pendidikan Untuk PBKB lintas-pelajaran atau terpadu,
c. Membuat kurikulum Muatan Lokal PBKB
d. Mengintegrasikan substansi PBKB ke dalam kurikulum Muatan Lokal.
e. Sebagai program pengembangan diri, khususnya Ekstra Kurikuler PBKB untuk diterapkan tersendiri (formal).
f. Sebagai bahan dalam Bimbingan Konseling (BK) secara formal.
2. PBKB di tingkat komunitas belajar, penyelenggara pendidikan dan pelatihan, satuan pendidikan atau sekolah sebagai wujud PBKB secara struktural maupun non-struktural.
Materi pelajaran bisa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Budaya dalam berbagai perwujudannya secara instrumental dapat berfungsi sebagai media pembelajaran dalam proses belajar. Dalam pembelajaran berbasis budaya, peran budaya dapat memberikan suasana baru yang menarik untuk mempelajari suatu bidang ilmu yang dipadukan secara interaksi aktif dalam proses pembelajaran.
Proses penanaman dan pengembangan karakter pada siswa adalah


|

Bagan 3. Proses pengembangan karakter pada jiwa peserta didik
Untuk menilai karakter para siswa, beragam teknik dan alat ukur hasil belajar digunakan dalam pembelajaran berbasis budaya yang pada dasarnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam upaya siswa untuk menunjukkan keberhasilan dalam belajar dengan penciptaan makna dan pemahaman terpadu, siswa dapat menggunakan beragam perwujudan; misalnya poster, puisi, catatan harian, laporan ilmiah, tarian, lukisan, ukiran dan lainnya. Dapat pula dengan cara mengamati perilaku siswa selama proses pembelajaran.
2.3 Kondisi dan Guru Yang Diharapkan
Salahsatu usaha yang dapat dilakukan di sekolah yaitu melalui penyusunan model pembelajaran terintegrasi antara keagamaan, budaya karakter bangsa. Hasil proses pembelajaran yang diharapkan dari sekolah yang menyelenggarakan kurikulum dan pembelajaran terintegrasi antar berbagai unsur yang diintegrasikan, antara lain:
No | Hasil Pembelajaran | Kondisi Sekolah Yang Dituntut |
1. | Mempunyai pengamatan terpadu, holistic, sebab inti pengetahuan adalah kebenaran atau realitas | Guru memberi berbagai kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan potensinya secara holistik. |
2 | Memiliki kepribadian yang seimbang antara perkembangan spiritual, intelektual, emosional dan fisikal, sehingga mencerminkan kesehatan mental yang tinggi. Kebalikannya akan menghasilkan siswa yang ragu, skeptis, curiga terhadap nilai yg dituntut, karena masing-masing mata pelajaran mempunyai nilai berbeda | Setiap pengajar harus menyesuaikan diri dengan perkembangan siswa, memotivasi siswa untuk berkembang secara seimbang antara spiritual, intelektual, emosional, fisikal. Orientasi pembelajaran pada pengembangan seluruh potensial siswa (intelectual, emotional, and spritual) |
3 | Berjiwa social sebagai anggota masyarakat dalam satu wawasan yang berdasarkan ikatan-ikatan budaya, agama, adat istiadat, dan lainnya menuju suatu tujuan tertentu | Sekolah harus sering mengadakan kegiatan yang bersifat pementasan seni dan budaya, kerjasama, gotong royong, sehingga menimbulkan rasa cinta budaya Indonesia, saling mengerti, menghargai, menolong dan kerjasama untuk mencapai satu tujuan |
4 | Lebih hormat dan cinta kepada orang tua dan guru, komunikatif dengan sesama, dan lebih sayang kepada adik kelasnya. | Di sekolah diberi kesempatan untuk berkomunikasi dengan kasek, guru, kakak kelas, teman sebaya, maupun adik kelas. Karena tak kenal maka tak sayang. Kegiatan dapat melalui proyek dari berbagai mata pelajaran tertentu |
5 | Memahami hakekat ilmu | Kasek dan guru yang mumpuni baik ilmu pengetahuan yang diampu maupun pengetahuan agama, etika, karakter dan budaya bangsa. |
8 | Bergairah dalam melakukan keagamaan, kebudayaan termasuk kesenian, dan menyalurkan hobby positif yang mungkin nantinya menuju jiwa wirausaha yang berbudi | Kegiatan yang diselenggarakan sebaiknya: semiloka peningkatan Iman takwa, diskusi dan melakukan kegiatan yang berimplikasi ke pembentukan karakter positif, pentas dan diskusi kebudayaan, kunjungan ke musium, dsb. Proses pembelajaran berbentuk integratif, pengadaan bulletin/poster ; lomba karya tulis, dsb.. |
9 | Siswa bukan hanya mengetahui kebajikan (knowing the good) tetapi juga merasakan (feeling the good), mencintai (loving the good), menginginkan (desiring the good) dan mengerjakan (acting the good) kebajikan | Metode pembelajaran lebih menekankan pada otak kanan dengan perasaan cinta, serta pembiasaan dan amalan kebajikan di dalam keluarga maupun sekolah. Otak kanan akan mempengaruhi otak kiri. |
10 | Dsb.. | Dsb,.. |
Sebelum ditutup, ijinkan penulis membahas sedikit tentang profesi guru, karena guru dituntut untuk menciptakan kondisi kelas yang menopang pembentukan karakter siswanya.. Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Jadi seorang guru sudah semestinya memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar, memahami dan mengamalkan ilmunya sesuai dengan tujuan pembelajaran, sekolah, dan tujuan pendidikan nasional yang luhur.
Salah satu aspek penting dalam reorientasi pengembangan profesionalitas guru di sini adalah terletak pada kemampuannya meningkatkan modal intelektual, modal sosial, kredibilitas dan semangatnya dalam mengemban tugas sebagai guru. Ada tiga tugas utama guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar dalam arti meneruskan dan mengembangkan IPTEK, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan pada peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa di sekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat memahami peserta didik dengan tugas perkembangannya mulai dari sebagai makhluk bermain (homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (homopither), dan sebagai makhluk berpikir/dewasa (homosapiens).
Guru juga bertugas membantu peserta didik dalam menstransformasikan dirinya sebagai upaya pembentukan sikap dan mengidentifikasikan diri sebagai peserta didik. Reorientasi pengembangan profesionalitas guru menjadi peluang yang amat terbuka dan amat urgen dilakukan, terutama dilihat:
(1) dengan semakin kompleksnya tuntutan tugas guru bidang studi, yang menghendaki dukungan kinerja yang semakin efektif dan efesien;
(2) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang diterapkan dalam pendidikan di sekolah juga cenderung bergerak maju semakin pesat, sehingga menuntut penguasaannya secara akademik-profesional;
(3) tuntutan perkembangan IPTEK yang tercermin dari jiwa kreatif, sehingga mau tidak mau guru juga perlu mempelajari konsepnya terlebih dahulu sebelum mengintegrasikan kedalam pembelajaran
(5) tuntutan kerjasama antar guru untuk membahas berbagai hal yang dituntut kementerian depdiknas, sehingga penyelenggaraan pembelajaran akan lebih bermakna dengan terus menerus dievaluas, diperbaiki dan dikembangkan.
III. SIMPULAN DAN SARAN
Sadar atau tidak sadar, fakta yang dialami para remaja sudah semakin rentan, sehingga kita perlu mengantisipasinya melalui pendidikan, dengan memaknai arti dan tujuan pendidikan nasional. Untuk menuju tujuan pendidikan nasional, salahsatu cara antara lain perlu pembentukan budaya sekolah yang agamis/moralis, ada ruang kreativitas, penyelenggaraan berbagai kegiatan kesenian, kunjungan sosial, kerjabakti dan kegiatan lain yang bermanfaat dengan basis budaya bangsa. Tiap individu ada kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang kreatif melalui hobby mereka yang disalurkan misalnya melalui program pengembangan diri, dsb.
Untuk menumbuhkan rasa kebangsaan, para guru dapat menggunakan sarana kekayaan budaya Indonesia. Tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke; merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Kewajiban politik dan intelektual kita untuk mentransformasikan “kebhinekaan” menjadi “ketunggalikaan” dalam identitas dan kesadaran nasional.
Begitu juga, untuk membangun kebudayaan nasional Indonesia, perlu dipertanyakan, “akan kita jadikan seperti apa bangsa kita?” yang tentu jawabannya adalah “menjadi bangsa yang tangguh dan berkarakter, menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia”, dengan mengintegrasikan nilai budaya lokal maupun nasional dalam dalam pembelajaran.
Integrasi nilai budaya lokal dan nasionalisme dalam inovasi pembelajaran pada dunia pendidikan sangatlah diperlukan untuk dapat mencetak anak-anak bangsa yang cerdas dan berbudaya khas Indonesia. Pendidikan untuk Pengembangan Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (PBKB) dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan formal/non-formal/informal melalui beberapa cara:
· Mengintegrasikan materi PBKB kedalam bahan belajar dari mata pelajaran.
· Membuat kurikulum Pendidikan Untuk PBKB lintas-pelajaran atau terpadu,
· Membuat kurikulum Muatan Lokal PBKB
· Mengintegrasikan substansi PBKB ke dalam kurikulum Muatan Lokal.
· Sebagai program pengembangan diri, khususnya Ekstra Kurikuler PBKB untuk diterapkan tersendiri (formal).
· Sebagai bahan dalam Bimbingan Konseling (BK) secara formal.
· PBKB di tingkat komunitas belajar, penyelenggara pendidikan dan pelatihan, satuan pendidikan atau sekolah sebagai wujud PBKB secara struktural maupun non-struktural.
Salahsatu cara pembelajaran melalui metode dengan mengembangan budaya dialog, komunikasi dua arah, diskusi interaktif ke arah pemecahan masalah. Perlu juga diterapkan teknik-teknik reward and punishment, dinamika kelompok, dan analisis kasus. Sehingga metode-metode dalam bentuk monolog, ceramah indoktrinasi, dan bersifat menggurui sudah harus diminimalisasi dengan menempatkan peserta didik sebagai subyek dalam pendidikan. Hindari kesan sekolah sebagi tempat yang menakutkan dan menekan para siswa.
Sebaliknya, sudah saatnya menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk proses pengembangan pribadi secara utuh melalui berbagai atmosfer yang tercermin dari pembelajaran yang terintegrasi, ekstrakurikuler yang bervariasi, pementasan berbagai kesenian dan budaya lokal maupun nasional, kunjungan ke panti asuhan, praktek jual beli, dan kegiatan lainnya yang konstruktif. Hindari ketidak pedulian kepada sikap-sikap siswa yang lemah, tak berdaya.
Perilaku dan sikap lemah dan negative akan merugikan siswa itu sendiri, masa depan mereka terancam, karena hidup terlalu santai, bahkan melakukan kriminal, mencari kebahagiaan sesaat, padahal persaingan kehidupan tidak ringan. Dinamika persaingan secara global saat ini menuntut karakter yang kuat dari para pelajar. Karakter kuat para pelajar akan terbentuk jika mereka mendapatkan pendidikan dan pembelajaran bermakna. Untuk menunjang proses pembelajaran bermakna, perlu guru yang profesional.
Untuk meningkatkan keprofesionalan para guru, perlu adanya pelatihan untuk para guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran; menggunakan alat bantu atau media belajar mengajar yang menarik dan menyenangkan bagi anak, dsb. Dengan demikian, para guru akan mampu meningkatkan akses pada anak-anak untuk mendapatkan media belajar yang menarik dan menyenangkan, sehingga pembelajaran lebih bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
· UUD 1945 (amandemen) Pasal 31 ayat (3)
· UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
· PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
· PP No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
· BSNP. Pedoman Penyusunan KTSP untuk Pendidikan Dasar dan Menengah
· Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tai'un 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
· …..2020.Pedoman Pendidikan Budaya Karakter Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum
· … 2010. Sekolah sebagai agen penyebar karakter budaya bangsa. Jakarta, Kominfo-Newsroom
· …. 2008. Building a nation of Character. Pendidikan Holistik Berbasis Karakter. Jakarta.
Belen.2010. Belajar Aktif. Jakarta: Pusat Kurikulum.
· Eko Harianto, S.Sos.I. dalam http://suara-muhammadiyah.com/2009/?p=1039. Diunduh oleh Etty, pada tanggal 14 Februari 2010
· e-Library UT. http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=284. Diunduh oleh Etty, pada tanggal 14 Februari 2010
· Farida, Meutia. (tanpa tahun.) Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir. Dalam Google.com. Diunduh oleh Etty, pada tanggal 14 Februari 2010
- Martianto, Hastuti (20023). Pendidikan karakter: Paradigma baru dalam pembentukan manusia berkualitas. Bogor: IPB
· Nasution, Muslimin, Dr, APU. 2008. Pendidikan Kurikulum berbasis Budaya lokal. Jakarta.
· Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat Menjadi Guru profesional. Yogyakarta: Primashopi.
· Pawai Budaya Nusantara 2008. http://www.jembranakab.go.id/main.php?module=detailberita&id=463. Diunduh oleh Etty, pada tanggal 14 Februari 2010.
· Rachim.2009. Pengembangan Karakter Bangsa dalam http://yandra08.blogspot.com/2009/07/urgensi-mata-kuliah-pengembangan.html. Diunduh oleh Etty, pada tanggal 14 Februari 2010
· Rosyidi, Unifah. 2008. Kualifikasi Guru dan pendidikan karakter. Jakarta.
· Sabda, Syaifuddin.2006. Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtak.. Ciputat: Quantum Teaching.
· Sofyatiningrum.2009.. Kurikulum Berciri Keagamaan. (Makalah). Dalam Prosiding Pertemuan Dan Presentase Ilmiah Hasil penelitian Bidang Pendidikan. Jakarta: Balitbang Depdiknas.
· Sukandi, Ujang.2010. Belajar Aktif. Jakarta: Pusat Kurikulum.
· Widy.2009 “Kondisi Sosial Masyarakat Saat Ini” dalam http://w1dy.ngeblogs.com/2009/12/09/tugas-ibdkondisi-sosial-masyarakat-pada-saat-ini/. Diunduh oleh Etty, pada tanggal 14 Februari 2010
· Yoga Hanggara.2010. “Kurikulum dan Metoda pembelajaran di Indonesia” dalam http://yohang.web.id/kurikulum-dan-metode-pembelajaran-pendidikan-di-indonesia.html. Diunduh oleh Etty, pada tanggal 14 Februari 2010.
· Yusuf, Jamil. 2009. Reorientasi Pengembangan Profesionalitas Guru di Pidie Jaya. Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry
1 komentar:
bisa jd masukan bagi orang tua, masyarakat dan guru dalam mendidik, membimbing dan mengarahkan anak agar bisa menjadi anak yg berkarakter sesuai harapan
Posting Komentar