Sabtu, 13 November 2010

TERAPAN KONSTRUKTIVISM DALAM PEMBELAJARAN KIMIA DI SMA/MA

(Etty Sofyatiningrum)
TUJUAN PENDIDIKAN INDONESIA
    Tujuan pendidikan di indonesia dapat dibaca pada Undang-undang
republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional,
pada bab II pasal 3 yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
    Indikator-indikator tujuan pendidikan di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
• Hubungan dengan Tuhan, yaitu agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
• Pembentukan pribadi yang mencakup pembentukan watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat, berakhlak mulia, demokratis serta bertanggung
jawab.
• Mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi manusia berilmu,
cakap, kreatif, mandiri.
• Sehat (rohani jasmani)
    Dari indikator-indikator tersebut, dapat dielaborasi lebih luas dan mendalam,
bahwa tujuan pendidikan di Indonesia hádala untuk mengembangkan individu
peserta didik secara alami atau wajar, artinya mereka diberi desempatan untuk
mengembangkan potensinya seperti apa adanya, sesuai minat dan bakatnya.
    Tidak perlu diarah-arahkan untuk kelompok tertentu, namun hanya memberi
bantuan, layanan, fasilitas dengan cara menyiapkan segala sesuatunya yang
diperlukan serta bimbingan yang tepat. Harapannya, mereka akan menjadi
ilmuwan, inovator, peduli lingkungan dan mampu memperbaikinya, mampu
meningkatkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat.
    Dari tujuan pendidikan nasional di atas, dapat dijabarkan lebih lanjut ke
tujuan institusional atau tujuan tingkat satuan pendidikan atau jenjang
pendidikan seperti tujuan pendidikan tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, yang
terdapat dalam Kurikulum TingkatSatuan Pendidikan (KTSP). Dari tujuan
tingkat satuan pendidikan ini dapat dielaborasi lagi ke tujuan yang lebih khusus
yaitu tujuan tiap mata pelajaran. Dalam naskah Standar Isi mata pelajaran
Kimia dinyatakan bahwa Mata pelajaran Kimia di SMA/MA bertujuan agar
peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteraturan dan
keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat
bekerjasama dengan orang lain
3. Menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen, dimana
peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan
melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan penafsiran
data, serta menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis
4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan
juga merugikan bagi individu, masyarakat, dan lingkungan serta menyadari
pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejahteraan
masyarakat
5. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling
keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-hari dan teknologi
6. Menggunakan pengetahuan dasar kimia dalam kehidupan sehari-hari, dan
memiliki kemampuan dasar kimia sebagai landasan dalam mengembangkan
kompetensi di masing-masing bidang keahlian.
Kimia merupakan bagian dari IPA, yang mempunyai karakteristik objek ilmu
kimia, cara memperoleh, serta kegunaannya. Kimia merupakan ilmu yang pada
awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun
pada perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan
berdasarkan teori (deduktif). Kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas
pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan
dengan komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat.

    Oleh sebab itu, mata pelajaran kimia di SMA/MA mempelajari segala sesuatu
tentang zat yang meliputi komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika,
dan energetika zat yang melibatkan keterampilan dan penalaran.
TEORI KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN KIMIA
Teori pembelajaran yang telah dipengaruhi aliran konstruktivis menjelaskan
bagaimana seseorang belajar. Belajar ádalah kegiatan aktif siswa untuk
membentuk pengetahuan. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia
kenyataan yang ada, dunia lepas dari pengamat. Pengetahuan merupakan
akibat dari konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang, ciptaan
seseorang yang dikonstruksikan dari pengalamannya yang direorganisasi
secara kontinu karena ada pemahaman baru. Pengalaman siswa dialami
melalui berbagai inderanya, misalnya mengamati daun, kemudian merabanya,
memperhatikan strukturnya, lalu didiskusikan dengan temannya, dibandingkan
dengan bacaan, direnungkan, dan seterusnya sehingga menjadi pengetahuan
siswa itu sendiri. Jadi siswa mengalami berbagai pengalaman baik fisik,
kognitif, maupun mental, yang diwujudkan melalui interaksi dengan
lingkungannya.
    Bagaimana dengan peran guru? Bila seorang guru ingin mentransfer suatu
pemahaman kepada siswanya, maka siswa itu harus menginterpretasikan dan
mengkonstruksikan sendiri, agar tidak salah paham, salah konsep. Guru
memainkan peranan yang penting dalam menciptakan kondisi belajar siswa,
agar sesuai dengan bakat, minat, dan potensi yang akan dikembangkan dari
siswa itu sendiri. Guru juga perlu merencanakan rancangan pembelajaran yang
sistematik dan teratur dalam berbagai pendekatan, strategi, metoda, dan teknik
belajar siswa, sehingga segala potensi siswa baik dari segi spiritual, emosi,
kognisi, maupun fisik dapat terkembangkan secara optimal. Terdapat pelbagai
jenis teori pembelajaran dalam bidang pedagogi yang dapat diaplikasikan
dalam pembelajaran, salahsatunya yaitu teori pembelajaran konstruktivism
    Penelitian pendidikan sains pada tahun-tahun terakhir telah menunjukkan
suatu pergeseran paradigma ke arah konstruktivis, bahwa: “dalam belajar,
seseorang mengkonstruksi pengetahuannya”. Selama 30 terakhir ini penelitian
dalam bidang pendidikan sains beranggapan bahwa “suatu penelitian baru
dianggap sah dan dapat dipublikasikan bila mencerminkan paradigma tersebut
(Russel, Munby dalam Tobin, dalam Suparno, 1997). Sampai saat ini,
konstruktivisme sedang menjadi aliran yang cukup banyak dipelajari, diteliti,
dan diperbincangkan. Para ahli pendidikan dan para praktisinya berusaha untuk
mengerti konstruktivism dalam seluruh bidang pendidikan, salahsatunya dalam
pendidikan sains. Revolusi kognitif ini penuh tantangan, namun memberi
semangat dan antusias, sekaligus membingungkan karena kurang jelas dan
digunakan dalam macam-macam bentuk dan makna.
Teori konstruktivism ini bertitik tolak dari pandangan behaviorism yang
mengkaji tentang perubahan tingkahlaku, tentang cara manusia belajar dan
memperoleh pengetahuan yang menekankan proses mental. Pandangan
behavioris mengatakan bahwa pelajar dipandang sebagai pasif, memerlukan
motivasi dari luar, perlu bantuan, dan penguatan. Bentuk kurikulum aliran
behavioris menyusun pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil dari yang
sederhana sampai ke kompleks, yang ditandai dengan statu keterampilan
tertentu. Keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran.
Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan, bahwa anakanak
diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar
secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi (Slavin, 1994; Abruscato, 1999 dalam Yusuf, tanpa tahun).
Siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri, otak siswa
sebagai mediator, yaitu memproses masukan dari dunia luar dan menentukan
apa yang mereka pelajari. Pembelajaran merupakan kerja mental aktif, bukan
menerima pengajaran dari guru secara pasif. Dalam faham konstruktivism bila
seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri secaraaktif, dia
atau siswa tidak akan erkembang pengetahuannya.
Guru memegang peranan penting dengan cara memberikan dukungan,
tantangan berfikir, melayani sebagai pelatih atau model, namun siswa tetap
merupakan kunci pembelajaran (Von Glaserfelt dalam Suparno, 1997). Guru
tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa agar
secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberikan kepada siswa atau peserta didik anak tangga yang membawa
siswa akan pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri harus
memanjat anak tangga tersebut (Slavin, 1994 dalam Yusuf, tanpa tahun).
Gagasan konstruktivism dapat dirangkum sebagaui berikut (von
Glaserfeld dan Kitchener, 1987 dalam Suparno, 1997)
• Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka,
tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subyek
• Subjek membentuk skemata kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang
perlu untuk pengetahuan
• Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur
konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam
berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Alur proses konstruktivism dalam pemikiran siswa dapat dilihat pada gambar 1.
Hasil dari proses pemahaman konsep ini, siswa dapat mengingat dengan
ingatan jangka panjang, karena melalui penglibatan yang aktif dalam
mengaitkan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan asal untuk
membentuk pengetahuan yang baru. Keyakinan pemahaman siswa dapat terus
dipupuk, sehingga siswa lebih berani mengahadapi kehidupannya dan mampu
menyelesaikan masalah dalam situasi baru. Selain itu, karena terlibat dalam
interaksi sosial dengan teman dan gurunya, siswa dapat meningkatkan
keterampilan sosialnya, dapat bekerjasama dengan orang lain, lebih empati,
dan lebih peduli liongkungan. Jika konstruktivism ini senantiasa diterapkan di
sekolah, siswa akan terbiasa membina idea baru secara aktif, akan
meningkatkan kefahamannya, akan terbiasa bersosial, akan lebih
menyenangkann, dan terdorong untuk terus belajar sepanjang hayat.
Untuk mencapai tujuan yang sesuai, beberapa pendekatan pengajaran
secara konstruktivism ditunjukkan pada gambar 2 yaitu mewujudkan aktivitas
sebab-akibat (reasoning), melibatkan pemikiran yang kritikal, dan aktivitas
penyelesaian masalah. Para siswa juga perlu berusaha memahami dan
menerapkan konsep/prinsip dalam kehidupannya. Peran siswa dan peran guru
dalam pembelajaran konstruktivism dapat dilihat pada gambar 2. Peran siswa
antara lain Bertanggungjawab, sehingga siswa mengalami pembelajaran yang
mandiri; Siswa mampu mmengorganisasi kerja sendiri, ciri/karakter yg
diharapkan yaitu ingin tahu, inisiatif dan “persistent”. Sedangkan peran guru
adalah sebagai fasilitator, pemikiran terbuka, pembimbing, penyokong kognitif,
dan pelayan individual, sehingga perkembangan siswa lebih optimal baik dari
segi spiritual, emosional, serta intelektual.
Salah satu implikasi utama pendekatan konstruktivism dapat dilihat pada
gambar di atas, yaitu pembelajaran berpusat pada siswa. Pengetahuan yang
dibentuk siswa adalah hasil dari aktivititas yang dilakukan oleh siswa tersebut, bukan
yang diterima secara pasif. Siswa sendiri yang bertindak dan berpikir, bukan guru. Di
samping kanan kotak ”berpusat pada siswa”, ada 4 ciri yaitu pembelajaran
merupakan proses yang aktif, motivasi, pengalaman, dan kognitif predisposisi. Di
sini guru sebagai fasilitator,siswa diberi peluang untuk memilih tujuan, , strategi dan
penilaian pelajarannya.
Dalam penerapan teori konstruktivism, bentuk pembelajarannya kontekstual,
yang berkaitan dengan dunia kehidupan para siswa, pengetahuan bawaan siswa,
dan kompetensi yang akan dikembangkan, serta materi bahan ajarnya.
Pembelajaran juga merupakan aktivitas sosial yang diwujudkan dalam pembelajaran
kooperatif, dan melibatkan penggunaan bahasa. Pembelajaran sebagai aktivitas
sosial ini juga melibatkan dialog dan diskusi sesama siswa, juga antara siswa
dengan gurunya. Dalam hal ini, guru perlu memberi waktu kepada siswa untuk
menyelesaikan tugas dan berdiskusi. Hal ini mereka perlukan untuk pemikiran
refleksi dan proses kematangan.
Dalam pembelajaran konstruktivism, pengetahuan siswa dibentuk oleh siswa itu
sendiri dan dibentuk melalui interaksi antarsiswa juga dengan gurunya. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam konstruktivism, salahsatu penyelenggaraan
pembelajarannya harus melibatkan kelompok. Dalam kelompok, siswa banyak
belajar bagaimana dia harus mengemukakan pendapatnya, bagaimana dia harus
mempertahankan pendapatnya secara logis, belajar bagaimana dia menerima
kesalahan pribadi setelah dikoreksi temannya sendiri. Dalam belajar kelompok,
seorang siswa akan melihat sebuah persoalan yang diberikan gurunya dalam tugas
”problem solving” atau penyelesaian suatu masalah, sehingga menciptakan suatu
refleksi yang menuntut kesadaran apa yang akan dan harus dipikirkan dan dilakukan
terhadapo teman kelompoknya. Penyelesaian masalah melibatkan proses yang
memaparkan masalah dan pencarian penyelesaiannya. Metakognisi merupakan
proses tingkat tinggi dalam membuat refleksi ke atas pemikiran sendiri dan proses
penyelesaian masalah.
Jika dalam kelompok seorang siswa mampu menjelaskan, artinya dia sendiri
terbantu melihat sesuatu lebih jelas dan dapat melihat kekurangan dirinya. Jika
temannya bahkan ada yang belum faham, hal ini membuat dia merasapunya harga
diri dalam kelompoknya. Dari dialog antar pribadi, antarsiswa dalam kelompok kecil
akan terbentuk pengetahuan dan pemahaman yang lebih bermakna dibanding
dengan langsung mendengar dari gurunya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang
lebih ilmiah dan bermakna, sebaiknya guru mendatangkan para narasumberyang
dapat langsung berdialog dengan para siswa.
Selain melalui kelompok, proses pembelajaran dapat dilakukan dengan cara
lainnya misalnya melalui gambar-gambar atau visual, paparan grafik, animasi, audio,
video, suara latar, musik dan lagu iringan yang menarik mewujudkan kesenangan
dan motovasi tersendiri bagi para siswa. Penggunaan multimedia misalnya CDROM,
OHP, komputer, VCD atau lainnya dengan paparan teks yang ringkas dan bemakna,
ilustrasi, film, gambar atau grafik yang berwarna-warni dapat mendorong siswa
untuk terus membuat penjelajahan terhadap berbagai ruang di dalam proses
pembelajarannya sehingga akan menimbulkan minat dan motivasinya.. Suasana
pembelajaran yang menyenangkan, menggairahkan, dapat meningkatkan rasa ingin
tahu mereka, sehingga pemahaman terhadap berbagai objek dapat dipupuk dan
terus ditingkatkan.
Mengenai penilaian, guru dapat melakukan penilaian apa adanya ( Authentic
Assessment) yaitu penilaian lebih berbentuk kualitatif dibandingkan dengan jenis
penilaian kuantitatif. Dalam perlaksanaan pembelajaran, para siswa dinilai melalui
keterampilannya pada saat berdiskusi jika bentuk metodanya berdiskusi, atau
penilaian unjuk kerja jika metodanya eksperimen. Untuk hasil laporan pribadinya,
guru dapat menilai hasil karya siswa atau dalam bentuk portofolio jika guru punya
program menilai hasil tulisan siswa secara berkala dalam satu semester,misalnya.
Sebagai contoh ilustrasi, penulis sertakan (lampirkan) persiapan guru mengajar yang
berprinsip konstruktivism sebagai berikut.
Berikut dikemukakan salahsatu skenario pembelajaran dengan materi pokok :
Senyawa Hidrokarbon, dengan bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
sebagai berikut.
Mata Pelajaran : Kimia
Kelas/Semester : X/2
Standar Kompetensi: Memahami sifat-sifat senyawa organik atas dasar gugus
fungsi dan senyawa makromolekul
Kompetensi dasar: Mendeskripsikan kekhasan atom karbon dalam membentuk
senyawa Hidrokarbon
Indikator : Mengidentifikasi unsur C, H, dan O dalam senyawa karbon
Tujuan pembelajaran:
1. Siswa dapat mengemukakan pendapatnya dalam diskusi senyawa karbon.
2. Siswa dapat merancang suatu percobaan untuk mengidentifikasi unsur C, H, dan
O dalam senyawa karbon
3. Siswa dapat menjelaskan prosedur dan melakukan suatu percobaan untuk
mengidentifikasi unsur C, H, dan O dalam senyawa karbon
4. Siswa dapat berhipotesa, melahirkan beberapa pertanyaan, menganalisis dan
menyimpulkan hasil pengamatannya
5. Siswa dapat bekerjasama, berempati dengan teman kelompoknya baik dalam
berdiskusi maupun dalam melakukan percobaan.
6. Siswa dapat menulikan rumus struktur beberapa senyawa hidrokarbon
7. Siswa dapat mengidentifikasi sifat-sifat penting dari senyawa hidrokarbon
Metode Pembelajaran : diskusi kelompok, experimen.
Langkah-langkah Kegiatan:
A. Orientasi dan menggali pendapat siswa tentang senyawa hidrokarbon
Dalam kegiatan ini, secara klasikal para siswa ditanya tentang fenomena alam
yang melibatkan senyawa karbon. Ide dari para siswa lebih dieksplisitkan,
lebih diperjelas n diperiksa, kemudian diarahkan ke suatu eksperimen yang
akan dilakukan secara berkelompok
B. Persiapan pembentukan konsep dalam diri siswa
Setelah dikelompokkan, guru memberikan beberapa pertanyaan dalam
bentuk lembar kerja yang harus didiskusikan oleh siswa, sebagai teori awal
dalam melakukan eksperimen.
C. Melakukan percobaan
Masing-masing kelompok mendiskusikan rancangan percobaannya,
kemudian melakukan percobaan, setelah erdiskusi mengenai hipotesisnya.
Dilanjutkan dengan diskusi hasil percobaan dan penyimpulan. Pembuatan
laporan dilakukan secara perorangan. Selama melakukan percobaan, guru
berkeliling untuk memotivasi, mengarahkan yang masih salah, memberi
pertanyaan atau menjawab pertanyaan dari siswa. Guru juga melakukan
penilaian unjuk kerja dan sikap siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran
yang diharapkan
D. Siswa membentuk pemahaman berdasarkan diskusi dan percobaan
Siswa mengembangkan kemampuannyadan pemahamannya mengenai
senyawa hidrokarbon berdasarkan pengalaman, bacaan, diskusi, pengamatan
percobaan, analisis, dan pertanyaan pertanyaan dari guru dalam bentuk LKS
yang bermakna secara kelompok.
E. Review, regleksi, pengembangan konsep
Siswa melakukan diskusi kelas tentang hasil diskusi, hasil percobaan,hasil
analisis percobaan dan hasil jawaban LKSdengan bimbingan gurunya.
Mereka membandingkan dengan kelompok lainnya, sehingga mengetahui
kekurangannya. Guru mengarahkan konsep utama yang difahami siswa
mengenai senyawa hidrokarbon, tanpa mendiktekannya.
F. Aplikasi dan penerimaan teori
Siswa mendiskusikan berbagai penerapan konsep ke dalam kehidupannya
juga ke dalam situasi baru atau penerapan dalam menyelesaikan problema
yang adayang berhubungan dengan hidrokarbon
Alat/bahan/Sumber:
Tabung reaksi, statif dan klem, gabus, pipa kaca, pembakar spiritus, larutan Ca(OH)2
atau air kapur, kertas kobal, gula pasir, tepung terigu, tembaga (II) Oksida
Penilaian:
Unjuk kerja selama melakukan percobaan, sikap selama diskusi kelompok,
percobaan dan diskusi kelas, hasil laporan masing-masing siswa, dan tes tertulis.

PENUTUP
Konstruktivism merupakan idea bahwa parasiswa mengkonstruksi
pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena, pengalaman, dan
lingkungannya. Pengetahuan siswa tidak dapat ditransferdari gurunya, tapi mereka
harus menginterpretasikannya. Karena pengetahuan merupakan proses yang
berkembang secara kontinu. Suasana seperti konflik yang membuat siswa dipaksa
berpikir lebih mendalam dan situasi yang membuat para siswa menjelaskan lebih
rinci akan mengembangkan pengetahuan siswa itu sendiri. Dalam proses
pembelajaran, siswa dapat menambah, mengurangi, mengganti pengetahuan yang
lema menjadi pengetahuan yang baru yang lebih luasdan lebih berkembang
Karena proses pembelajaran akan lebih bermakna jika dilakukan
secarapribadi dan sosial, maka dukungan lingkungan sangat diperlukan bagi para
siswa seperti adanya belajar kelompok, guru yang kreatif, fasilitas eksperimen yang
tersedia, dan kondisi keluarga dan masyarakat yang mendukung pemahaman dan
pembentukan sikap mereka. Guru bertugas sebagai mitraparasiswa yang aktif
bertanya untuk merangsang pemikiran mereka, mencuiptakan persoalan, memberi
waktu kepadasiswa untuk mengungkapkan berbagai gagasannya, namun tetap kritis,
dan fleksibel.
Kini teori konstruktivism sudah digunakan di berbagai negara khususnya
dalam proses pembelajaran di sekolah. Kita tinggal memilih, apakah kita bersedia
menggunakannya dalam proses pembelajaran di sekolah atau tidak. Saran penulis
kepada para penentu kebijakan dan pelaku pendidikan dan pembelajaran di sekolah
sebaiknya mulai saat ini menggunakan teori konstruktivism ini secara total, baik dari
segi sistem sekolah, kurikulum,sarana prasarana, guru, dan lainnya, sehingga
sekolah dapat menghasilkan para siswa yang sesui dengan tujuan pendidikan
nasional kita, Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Brooks, et all. (1999). The Case For ConstructivistClassrooms. Alexandria,
USA:Assosiation for Supervision and Curriculum Development.
Dawson, Chris (1994). Science Teaching in the Secondary School.Melbourne:
Longman.
Nggermanto, Agus (2002). Quantum Quotient, Kecerdasan
Kuantum.Bandung:Nuansa.
Suparno, Paul (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan.Yogyakarta:Kanisius.
Treagust, atall (1996). Improving Teaching and Learning in Science and
Mathematics.. New York: Teacher CollegePress.
http://uib.no/People/sinia/CSCL /HMMConstructivism.htm
http://ditplb.or.id/new/index.php?menu=profile&pro=70
http://www.damandiri.or.id/file/yusufunsbab2.pdf
http://www.malang.ac.id/jurnal/fmipa/kim/2001a.htm
http://www.oikos.org/radcon.htm
UURI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
(Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) Mata Pelajaran kimia SMA.

0 komentar:

Posting Komentar

Pages 212 »
 
Powered by Blogger